Mencari Setitik Semangat

Setelah beberapa saat meninggalkan bangku pendidikan formal, aku mulai sedikit merasakan rasa kehidupan yang sebenarnya. Ada saat di mana aku menganggur beberapa lamanya tanpa pekerjaan dan tanpa status kuliah. Dan juga ada beberapa saat ketika aku ingin kembali menjadi seorang pelajar, yang alhamdulillah terobati dengan kesempatan untuk kuliah di salah satu institut yang ingin kumasuki selepas SMA dulu. Lalu aku juga pernah melewati masa ketika aku harus memilih salah satu dari dua pilihan besar yang sama-sama bagusnya. Dan di antara semua itu, masih ada satu rasa kehidupan yang harus kualami pada saat aku harus mandiri dan benar-benar lepas dari beban kedua orang tua. Hal ini terasa berbeda dengan saat aku kuliah di luar kota, karena meskipun jauh dari orang tua, namun pada prinsipnya aku masih menjadi beban kedua orang tua.

Pada kesempatan ini aku akan mencoba mengutarakan fasa awal kemandirian tersebut. Kini, dengan kondisi aku sudah berusaha untuk mencari penghasilan sendiri (dengan kata lain beban biayaku sudah lepas dari orang tua) aku mulai merasakan sebuah krisis semangat. Kadang aku merasa tidak ada tekanan yang membuat aku semangat sepertihalnya dulu waktu sekolah maupun kuliah. Memang beban pekerjaan itu adalah sebuah tekanan yang mendorong aku untuk lebih maju dan lebih unggul, namun tekanan tersebut bukanlah tekanan yang membuatku benar-benar giat dan semangat. Di satu sisi aku bisa merasa berpuas diri karena bisa berlepas dari beban biaya orang tua, namun dalam kepekaan pribadiku aku tidak bisa tenang dalam keterlenaan ini. Kadang aku merasa agak iri dengan teman-teman yang dari masa sekolah sudah berusaha mencari uang sendri untuk biaya pendidikan mereka karena mungkin mereka sudah pernah melewati masa awal kemandirian. Namun jika semua itu dibalik, yang muncul dariku kini hanyalah sebuah rasa syukur karena semua orang sudah memiliki porsi rejeki sendiri-sendiri dari Allah.

Setelah beberapa babak berlalu di awal kehidupan yang sebenarnya ini, aku mulai sadar aku harus mencari sebuah semangat untuk memberikanku gairah untuk berusaha. Memang benar pada kenyataannya aku tidak menemukan seuatu yang benar-benar aku suka untuk kukerjakan. Tetapi aku rasa aku bisa menggali hal-hal yang membuatku suka pada sesuatu yang aku kerjakan. Dan itu semua memang adalah sesuatu yang aku butuhkan. Aku ingin menjadi seseorang yang rajin seperti saat aku masih kuliah, dan bahkan lebih. Aku juga harus memiliki sebuah pandangan yang luas mengenai masa depanku yang masih lebar.

Aku masih perlu mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu yang diwariskan para Nabi dan Rasul yang menuntun kita hidup dalam jalan yang benar dan tak diragukan lagi. Aku masih perlu rasa rendah hati, mawas diri, dan sadar diri untuk membekali diri ini dengan ilmu-ilmu yang penting bagi masa depan.

Aku juga masih belum menemukan sebuah cinta yang bisa memberikanku semangat untuk terus belajar, berkarya dan beribadah. Kadang aku juga merasa merasa kurang semangat karena aku termasuk pemuda jaman kini yang (masih) tidak punya pacar dan belum berpandangan untuk menikah. Tapi kurasa hal tersebut bukan (atau belum menjadi) suatu masalah yang besar.

Aku ingat bahwa prinsip hidup ini sederhana. Yang rumit adalah teknis dalam menjalani hidup ini.

Banyak sekali nilai kehidupan yang sudah kupelajari saat aku masih berstatus sebagai seorang pelajar, namun kondisi dulu dengan kondisi sekarang jauh berbeda. Banyak hal yang bisa membuat kita lupa dengan semangat-semangat kita di waktu dulu, terutama karena perbedaan kondisi kita sebagai seorang pelajar dengan kondisi kita sebagai seorang pencari nafkah. Nampaknya kealpaan itu juga berlaku pada idealisme-idealisme yang pernah terngiang di benak kita.

Untuk itu, aku mulai berusaha menuliskan segala sesuatu yang kurasa bisa menjadi pengingat diri. Karena pada suatu saat, mungkin aku akan lupa lagi. Selain terus menulis, aku akan berusaha untuk membaca-baca kembali apa yang mungkin terlewat.

Bukankah prinsip pembangkit semangat ini sederhana: MUNGKIN KITA SUDAH LUPA, BAHWA ...

Dan bukankah prinsip pembangkit kebaikan di muka bumi ini juga sederhana: SALING INGAT MENGINGATKAN DALAM KEBENARAN DAN KESABARAN.

Dan sebelum tulisan ini kututup, aku juga akan membagi sedikit intisari pemahamanku. Secara dhahir aku sudah berlepas dari beban biaya hidup kedua orang tua, namun secara prinsip aku masih tergantung pada doa dan restu kedua orang tuaku. Jadi intinya tidak benar jika kita bisa berlepas diri dari kedua orang tua. Begitu pula kedua orang tua kita juga sebenarnya tidak akan berlepas diri dari kita, karena kedua orang tua kita juga memerlukan doa dari kita sebagai anak yang sholeh sebagai tanda amal bagi kedua orang tua kita. Dan ternyata, selain dari orang tua, doa yang mustajab bagi seorang lelaki adalah berasal dari doa istrinya yang sholehah. Dan sepertinya untuk masalah yang terakhir ini harus kuusahakan dimulai dengan doa yang sungguh-sungguh. :)

Wabillahi taufiq wal hidayah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Lintas Jalur ITS

Jujitsu is My Way

Teknologi Internet : Perkembangan Web 2.0