Tinta Pertama

Aku jadi ingat sebuah kenangan menarik. Dulu sewaktu masih SD kelas satu dan kelas dua, alat tulis yang (boleh) kita gunakan adalah pensil. Aku penasaran sekali dengan sebuah alat tulis yang terlihat canggih dan yang saat itu terlihat berkelas bagi seorang anak SD kelas satu dan kelas dua, bernama 'pulpen' atau 'bolpoin'. Aku tanya ibu, kenapa gak boleh pakai pulpen? "Karena nanti kalau kamu salah tulis, coretannya gak bisa dihapus. Dan kamu harus belajar nulis dulu di kelas satu dan kelas dua ini yaa." Hmm.. kalau sekarang kupikir logis juga karena yang namanya anak kecil suka tidak berpikir mau corat-coret apa. Istilahnya, 'masa kreatif'.

Ah, aku jadi ingat dulu aku dan adikku suka corat-coret di tembok depan rumah dengan kapur warna-warni dari kantor ayah. Parahnya tembok benar-benar penuh coretan, sampai aku malu sendiri ketika pak guru datang ke rumah untuk kunjungan.

Jadi, kalau si anak yang suka corat-coret ini memakai bolpoin, terutama di tembok, akan sangat sulit untuk menghapus atau menghilangkan nodanya. Istilahnya, 'bahaya'. Hehe.

Seperti yang diduga, kenaikan kelas dari kelas dua ke kelas tiga SD merupakan hari kebahagiaan bagiku sebagai anak kampung yang jauh dari permainan modern seperti sekarang. Ada sesuatu yang ditunggu-tunggu! Inilah kali pertama aku dibelikan pulpen dan juga type-X (atau stipo). Dan saya rasa semua teman-teman sekelas saya juga mengalami hal yang sama. Ada sensasi tersendiri ketika hari pertama sekolah menulis buku catatan dengan pulpen dan pertama kali mencoba type-X.

Kelas tiga SD juga merupakan kali pertama aku mendapatkan mata pelajaran yang 'berbeda' dari tingkat kelas sebelumnya, yaitu mata pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa Inggris. Tentu saja, antusias anak kampung sepertiku yang penuh rasa ingin tahu bergejolak mendapati mata pelajaran yang terlihat 'advanced' tersebut. Mengapa saat itu kita begitu antusias mempelajari IPA, sedangkan di masa SMA banyak sekali anak yang begitu muak mempelajari pelajaran-pelajaran IPA (kategori sains seperti fisika, kimia, dan biologi)? Begitu menjengkelkannya-kah IPA itu? Anda yang mengalaminya pasti paham. Hehe.

Tinta pertama dari pulpen pertama kutuliskan pada buku untuk pertama kalinya, itulah saat yang kunantikan selama dua tahun di masa awal SD. Menulis menggunakan pulpen begitu mendebarkan. Sekali salah, tak 'kan ada setip (red: penghapus pensil) untuk menghapusnya. Akan tetapi ada type-X yang dapat menutupi noda kesalahan itu. Inilah sensasi dari menulis menggunakan pulpen yang kualami di masa-masa awalnya, menuntut kebaikan dalam menulis dan sesedikit mungkin kesalahan agar type-X tidak memenuhi kertas yang penuh dengan noda kesalahan.

Sebagai renungan:
Berdasar kenangan pengalaman ini, aku dapat menemukan suatu analogi mengenai kehidupan kita di dunia ini. Tinta pertama kita peroleh ketika menginjak usia baligh. Meninggalkan usia kanak-kanak dan mulai terbentuknya akal secara sempurna. Mulai usia baligh ini seseorang dituntut untuk mempertanggung jawabkan sendiri dosanya.

Sebelum baligh, seorang anak masih belum dikenakan pertanggungjawaban dosa, karena masih ditanggungkan kepada orang tuanya. Ibarat jika kita menulis, kita masih menggunakan pensil yang dapat disetip (baca: dihapus dengan penghapus). Akan tetapi, jika kita sudah memasuki usia baligh, ibaratnya kita sudah menulis menggunakan pulpen. Kesalahan tidak selalu bisa dihapus, tetapi bisa saja kesalahan itu ditutup dengan type-X. Dalam hal ini dapat diperjelas, dosa tidak selalu diampuni, tetapi bisa saja hanya dimaafkan oleh Allah. Perbedaan dosa dimaafkan dan diampuni adalah jika dosa dimaafkan oleh Allah, maka pelaku masih merasakan neraka untuk menghapus dosa yang "ter-type-X". Akan tetapi, untuk dosa yang diampuni berarti ia sudah "ter-setip", sehingga pelaku tidak akan merasakan pedihnya neraka akibat dosa itu.

Semoga taubat kita diterima dan dosa-dosa kita diampuni Allah. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Lintas Jalur ITS

Jujitsu is My Way

Memang Jauh, Tetapi...