Manusia (Itu) Konsumtif
Banyak hal yang mengganjal pikiranku mengenai pola hidup manusia. Aku menganggap bahwa pola hidup manusia jika dibahas secara makro adalah sebuah pola hidup yang konsumtif dan kurang memperhatikan daya dukung lingkungan. Secara kasar seharusnya dapat dilihat bahwa daya dukung lingkungan ini tidak dapat mengikuti pola gaya hidup manusia, apalagi di abad mutakhir ini. Aku menganggap bahwa manusia hidup di dunia ini memang lebih ahli dalam menggunakan sumber daya alam (atau lebih cocok menghabiskan) daripada menjaganya. Atau mungkin itu memang fitrahnya.
Coba tilik kembali istilah energi terbarukan dan tidak terbarukan. Kemudian cermati lagi pemakaian energi dan pendaurulangan energi. Kita lebih banyak menggunakan energi tidak terbarukan karena ia lebih dahulu digunakan dan lebih mudah diperoleh. Energi terbarukan memiliki kapasitas produksi yang terbatas dan kuantitas pemanfaatannya lebih sedikit daripada energi yang tidak terbarukan. Rasio pendaurulangan energi jauh lebih rendah dari pemakaian energi. Singkatnya, jumlah pemakaian (cenderung ke energi tidak terbarukan) lebih besar daripada jumlah pemasokan (cenderung ke energi terbarukan dan daur ulang energi). Besar pasak daripada tiang.
Sumber daya alam di dunia ini telah disediakan oleh Sang Pencipta, Allah SWT, untuk dimanfaatkan oleh manusia. Itu adalah sebuah nikmat yang diberikan Allah SWT. Namun nampaknya tabiat manusia lebih banyak menggunakannya sehingga tanpa sadar menyebabkan kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan sumber daya alam itu.
Sebagai gambarannya, dalam penemuan mesin uap maupun mesin bakar apakah terpikirkan akan efek negatif polusi dari gas buang mesin tersebut? Lalu, apakah terpikirkan juga bahwa di kemudian hari saat mesin tersebut telah digunakan secara massal dan kita telah tergantung dengan bahan bakar fosil (yang tidak dapat diperbaharui), menimbulkan kebingungan terhadap menipisnya pasokan bahan bakar tersebut? Lalu, apakah dahulu terpikirkan jika permasalahan bahan bakar itu dapat memicu peperangan antar negara karena perebutan sumber daya alam tersebut? Aku tidak yakin hal tersebut dahulu terpikirkan, karena logisnya penemuan tersebut benar-benar disambut positif sebagai sesuatu yang dapat meningkatkan produktivitas manusia, yang dapat mengubah pola industri menjadi lebih hemat biaya dan manpower. Namun, dampak negatif mulai terasa di kemudian hari saat polusi dari mesin-mesin industri yang produktif itu membuat bumi gerah dengan efek rumah kaca.
Sebelum menutup tulisan ini, aku ingin memberikan sebuah gambaran. Kita percaya bahwa alam semesta bergerak ke arah waktu kehabisan, kebinasaan, dan kehancuran. Kita percaya akan adanya hari kiamat. Salah satu bukti di dunia ilmiah adalah adanya prediksi matinya matahari sebagai bintang penyinar tata surya. Pun dengan apa yang ada di bumi ini, kelihatannya sumber daya juga akan menuju ke arah kehabisan. Nampaknya kiamat adalah fitrah bagi seluruh ciptaan Allah. Meninggalnya seseorang adalah sebuah kiamat sughro (kiamat kecil), dan berakhirnya alam semesta ini adalah sebuah kiamat kubro (kiamat besar).
Adalah fitrah manusia jika ia memanfaatkan sumber daya alam (baca: konsumsi) yang telah disediakan Allah baik di muka bumi maupun apa yang dikandung di dalamnya. Aku tidak menyangkal, bahwa sehemat apapun kita sebenarnya kita itu tetap konsumtif. Manusia hanya bisa berhenti untuk konsumtif saat dia sudah tidak bernafas. Kita hanya bisa menilai apakah konsumsi itu berlebihan atau tidak. Dan sebagai indikator lain, apakah konsumsi kita itu menimbulkan dampak buruk (baca: polusi) kepada alam secara berlebihan atau tidak. Ada kadar polusi yang bisa ditolerir dan ada kadar polusi yang tidak bisa ditolerir oleh alam.
Wallahua'lam. Semoga bermanfaat.
Coba tilik kembali istilah energi terbarukan dan tidak terbarukan. Kemudian cermati lagi pemakaian energi dan pendaurulangan energi. Kita lebih banyak menggunakan energi tidak terbarukan karena ia lebih dahulu digunakan dan lebih mudah diperoleh. Energi terbarukan memiliki kapasitas produksi yang terbatas dan kuantitas pemanfaatannya lebih sedikit daripada energi yang tidak terbarukan. Rasio pendaurulangan energi jauh lebih rendah dari pemakaian energi. Singkatnya, jumlah pemakaian (cenderung ke energi tidak terbarukan) lebih besar daripada jumlah pemasokan (cenderung ke energi terbarukan dan daur ulang energi). Besar pasak daripada tiang.
Sumber daya alam di dunia ini telah disediakan oleh Sang Pencipta, Allah SWT, untuk dimanfaatkan oleh manusia. Itu adalah sebuah nikmat yang diberikan Allah SWT. Namun nampaknya tabiat manusia lebih banyak menggunakannya sehingga tanpa sadar menyebabkan kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan sumber daya alam itu.
Sebagai gambarannya, dalam penemuan mesin uap maupun mesin bakar apakah terpikirkan akan efek negatif polusi dari gas buang mesin tersebut? Lalu, apakah terpikirkan juga bahwa di kemudian hari saat mesin tersebut telah digunakan secara massal dan kita telah tergantung dengan bahan bakar fosil (yang tidak dapat diperbaharui), menimbulkan kebingungan terhadap menipisnya pasokan bahan bakar tersebut? Lalu, apakah dahulu terpikirkan jika permasalahan bahan bakar itu dapat memicu peperangan antar negara karena perebutan sumber daya alam tersebut? Aku tidak yakin hal tersebut dahulu terpikirkan, karena logisnya penemuan tersebut benar-benar disambut positif sebagai sesuatu yang dapat meningkatkan produktivitas manusia, yang dapat mengubah pola industri menjadi lebih hemat biaya dan manpower. Namun, dampak negatif mulai terasa di kemudian hari saat polusi dari mesin-mesin industri yang produktif itu membuat bumi gerah dengan efek rumah kaca.
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS. Ar Ruum - 41)Lalu, apakah wacana daur ulang itu efektif? Dari segi pengeluaran pemasukan, sifat dari daur ulang itu seperti menghambat pengeluaran. Ia tidak akan mengurangi pengeluaran. Ia juga tidak bisa membalikkan fakta bahwa pengeluaran lebih besar dari pemasukan. Bukan bermaksud untuk pesimis, akan tetapi sebenarnya daur ulang bukanlah cara untuk menghemat energi. Dalam skala makro kebutuhan akan energi akan semakin bertambah seiring dengan naiknya tuntutan perkembangan jaman dan teknologi. Namun daur ulang energi adalah cara yang efektif untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap energi yang tak tergantikan. Secara mikro ia dapat merangsang untuk sebuah penghematan energi.
Sebelum menutup tulisan ini, aku ingin memberikan sebuah gambaran. Kita percaya bahwa alam semesta bergerak ke arah waktu kehabisan, kebinasaan, dan kehancuran. Kita percaya akan adanya hari kiamat. Salah satu bukti di dunia ilmiah adalah adanya prediksi matinya matahari sebagai bintang penyinar tata surya. Pun dengan apa yang ada di bumi ini, kelihatannya sumber daya juga akan menuju ke arah kehabisan. Nampaknya kiamat adalah fitrah bagi seluruh ciptaan Allah. Meninggalnya seseorang adalah sebuah kiamat sughro (kiamat kecil), dan berakhirnya alam semesta ini adalah sebuah kiamat kubro (kiamat besar).
Adalah fitrah manusia jika ia memanfaatkan sumber daya alam (baca: konsumsi) yang telah disediakan Allah baik di muka bumi maupun apa yang dikandung di dalamnya. Aku tidak menyangkal, bahwa sehemat apapun kita sebenarnya kita itu tetap konsumtif. Manusia hanya bisa berhenti untuk konsumtif saat dia sudah tidak bernafas. Kita hanya bisa menilai apakah konsumsi itu berlebihan atau tidak. Dan sebagai indikator lain, apakah konsumsi kita itu menimbulkan dampak buruk (baca: polusi) kepada alam secara berlebihan atau tidak. Ada kadar polusi yang bisa ditolerir dan ada kadar polusi yang tidak bisa ditolerir oleh alam.
Wallahua'lam. Semoga bermanfaat.
Komentar